Vaksinasi Covid NZ

Setelah menunggu berbulan-bulan, akhirnya weekend kemarin kami vaksinasi covid. HOREEEE!!!

Kalau biasanya saya lumayan nggak pedulian sama yang terjadi di sekitar, untuk yang satu ini saya FOMO. Alasannya karena pengen buru-buru punya proteksi melawan virus sialan ini. Virusnya pinter, bermutasi terus bikin strain baru dan bisa menyerang lebih ganas. Kampret emang.

Sistem vaksinasi di Selandia Baru sebenarnya pakai sistem booking. Kami udah booking, tapi dapet slot-nya masih akhir September. Masih lamaaa! Deltanya udah deket iniiihhh! 😑😑 Kan geregetan yaaa…. Jadi waktu teman saya yang perawat & bertugas di sentra vaksinasi kirim message yang isinya siapa aja yang mau vaksinasi bisa langsung dateng ke sentra airport, langsung brangkat!

Sentra vaksinasi deket Auckland airport ini drive through. Bawa bekal arem-arem, kripik, buku dan sebelumnya isi bensin dulu. Yang mana bekalnya sungguh berguna karena antreannya panjang meliuk. Tapi pengaturan jalurnya rapi, jadi ngga bikin stress & anteng aja nunggu di mobil.

Dari pintu masuk, mobil maju ke pos 1. Di sini dipilah berdasarkan jumlah orang dalam mobil yang mau vaksinasi, dan disuruh antre di jalur sesuai jumlah orangnya.

Kemudian maju lagi masuk pos 2. Di sini dicek kelengkapan data dan nomor National Health Index.

Kalau di tengah antrean kebelet pipis, ada toilet. Yang mobilnya cuma isi 1 orang, bisa minggir dulu kalau mau pipis. Nanti diatur sama petugas supaya bisa balik masuk antrean lagi.

Selanjutnya masuk pos 3, pos vaksinasi. Horeeeee!!!!
Buka jendela, cek data dan kondisi sekali lagi, abis itu silakan vaksinasi saya!

Kelar vaksin, disuruh parkir dulu 15 menit di area depan pos vaksinasi. Kalau ada kendala, tinggal nyalain lampu dan klakson 2 kali, nanti petugasnya dateng. Karena selama 15 menit nunggu kami baik-baik aja, kami dibolehin pulang deh. Nanti 6 minggu lagi balik untuk vaksin dosis kedua.

Total antre hampir 2 jam, proses vaksinasinya sih cuma 5 menit. Vaksin yang dipakai Pfizer, nggak milih-milih karena di NZ sampai saat ini adanya cuma itu. Efek setelah vaksin pertama ini sih kami nggak ngerasa kenapa-napa. Cuma njarem di daerah bekas suntikan.


Sekian cerita vaksinasinya. Sumpah rasanya bahagiaaaaaa banget, so grateful ada perisai di dalem badan walaupun masih setengah kopling. Rasanya makin deket ke kesembuhan dunia, makin besar harapan bisa mudik ketemu orang tua. Aamiin yaa teman-teman!


Ok thx bye 2020

Tulisan pertama di tahun 2021 dan kumulai dengan ucapan: selamat tahun baru!

Tahun 2021 apakah pandemi sudah selesai? Beloooooooom. Bahkan ketika tulisan ini dibuat tanggal 15 Februari 2021, Auckland sedang menikmati hari pertama lockdown lagi untuk ketiga kalinya. Kado Valentine-nya manis sekali ya.

2020 memang tahun yang sungguh mbuh. Tapi konon roda itu muter kan ya. Sekarang kita semua sedunia lagi babak belur di bawah. Tapi pasti nanti rodanya muter ke atas, trus kita sedunia bahagia lagi. At least vaksin untuk virus sialan ini sudah ditemukan. Ini titik terang loh, jadi jangan pada menolak vaksin ya!

Let’s hope for much much more normal 2021. Semoga tahun ini kita sehat kita senang kita makmur.

Masih Tentang Corona

Tahun 2020 udah tinggal beberapa bulan lagi dan pandemi Covid-19 ini belum kelar juga di manapun di dunia ini ya Gustiiiii…….. Di seluruh dunia. Se-lu-ruh du-ni-a. Nggak ada yang tidak terjamah.

Selandia Baru apa kabar? Ow, sempet lockdown 2.0 dooong!

Jadi, setelah hore-hore 100 hari NZ bebas covid, mendadak Agustus lalu ada beberapa orang positif covid di Auckland. Kasus baru yang tidak terlacak asalnya, tanpa histori traveling ke luar negeri sebelumnya & (konon katanya) nggak ada hubungan sama karantina orang-orang yang baru datang dari luar negeri. Aneh? Lho lha iya jelas. Buntutnya, perdana menteri tante Jacinda pasang status siaga di Auckland, dari level 1 ke level 3.

Biar yang baca nggak bingung (emang ada yang baca?), saya rinci ya tentang sistem alert level Covid-19 NZ ya. Sistem penanganan pandemi di NZ dibagi menjadi 4 tingkat.

Level 1 : Ini disebut stage Prepare. Kondisi dalam negeri bebas covid.

Kehidupan berjalan seperti biasa, tapi border ditutup. Yang boleh masuk cuma returning citizen/residents, dan begitu injek kaki di tanah NZ langsung dikarantina 14 hari di managed facilities yang sudah ditentukan.

Intinya ini fase tidak perlu parno, tapi ya siap-siap kalau negara api menyerang.

Level 2 : Ini disebut stage Reduce. Kondisi terdapat kasus aktif tapi minim penambahan kasus baru.

– Diimbau untuk jaga jarak aman.

– Setiap masuk ke tempat umum harus register untuk contact tracing.

– Gathering/events dibatasi maksimal 100 orang.

Intinya ini fase mulai parno tapi masih cukup terkendali.

Level 3 : Ini disebut stage Restrict. Kondisi terjadi community outbreak dan terdapat lebih dari satu klaster.

– Warga diimbau tinggal di rumah & stay bersama orang yang tinggal serumah. Paling banter boleh bareng sama keluarga deket aja.

– Sekolah & kantor ditutup. Semua sekolah dan kerja dari rumah.

– Wajib jaga jarak 2 m di tempat publik.

– Fasilitas publik seperti bioskop atau library ditutup.

– Restoran hanya boleh melayani take away.

– Beberapa jenis bisnis boleh tetap berjalan, tapi harus contactless.

– Kapasitas transportasi umum dikurangi 50%.

– Gatherings dibatasi 10 orang saja.

– Tidak boleh keluar kota.

Intinya, ini fase udalah mending di rumah aja, banyak-banyak doa.

Level 4 : Ini tingkatan tertinggi, udah Lockdown total. Kondisi persebaran kasus baru terjadi di seluruh penjuru negara, susah dikendalikan, menyebar luas & penambahan kasus baru tinggi.

– Semua warga harus di rumah & harus bersama dengan orang yang satu rumah. Sama keluarga deket pun nggak boleh ketemu.

– Semua bisnis tutup. Yang boleh beroperasi cuma supermarket, rumah sakit & apotek.

– Stay local. Pergerakan dibatasi di RT masing-masing.

– Sama sekali gak boleh ada kumpul-kumpul.

Intinya, ini fase all hell breaks lose.

Waktu lockdown episode pertama Maret lalu, pemerintah bikin pengumuman hari Senin siang & mulai berlaku Rabu tengah malam. Ada waktu 36 jam untuk siap-siap. Tapi di episode kedua, diumumin tante Jacinda Selasa jam sembilan malam & berlaku besok paginya. Ini baru rem tangan. Pakem, sis!

Ya namanya juga dadakan, orang banyak yang gak siap. Saya inget banget Selasa malem itu jam 8 saya sama bapak F ke supermarket beli semir, sepiiiii banget. Sejam kemudian supermarketnya langsung diserbu orang-orang yang panic-buying. Udah kebayang, pegawainya pasti kelabakan itu. Dan yang kerja shift malam pasti nggak sebanyak shift siang. Kasiman… Sekolah anak-anak juga cukup kagok. Walaupun udah ada pengalaman school from home sebelumnya, tapi tetep aja yang di periode kedua ini pemberian materinya agak ngepot-ngepot.

Sekarang status siaga Auckland hamdalah sudah turun, jadi 2.5. Sekolah, kantor dan tempat publik sudah buka lagi. Apakah sudah 0 cases? Sayangnya tidak. Masih ada kasus aktif dan masih ada penambahan kasus baru. Nggak seperti episode pertama yang turun level ketika udah sama sekali nggak ada kasus baru, episode kedua ini agak hajar bleh. Kalo analisa bego-begoan saya sih, ini bukti bahwa setajir-tajirnya NZ, tetep aja perekonomiannya ambleg. Ra obah, ra mamah.

Nah, hari ini saya baca di sosmed, PSBB di Jakarta juga akan diberlakukan kembali. Rem tangannya mau ditarik katanya. Well, it’s about time! Aslik ya, kalo saya liat instagram story orang-orang, astagaaa… itu kenapa pada berani banget siiih? Gusti Pangeran nu Agung…. whyyy? Banyak orang yang semestinya sih bisa mengakses & mengolah informasi dengan baik tapi kok malah awur-awuran kumpul sana-sini, nongkri sana-sini. Nggak kurang duit, tapi kalo kurang pendidikan ya saya nggak tau. Ngebet amat update story sih. Seriusan, dia yang foto-foto, gue yang senewen. Zonanya udah hitam padahal. Sumpah ini bikin saya yang hidup di rantau tapi orang tua di Jakarta, setres luar biasa.

Untungnya orang tua saya masih anteng di rumah dan masih ada teman yang patuh aturan. Untuk mereka yang sejak awal pandemi ikut aturan PSBB dengan keras kepala, nggak goyah iman, keluar rumah cuma untuk kerja & kebutuhan pokok, saya ucapkan terima kasih banyak. Mungkin kalian dianggap gak asik & gak ditemenin. Sabar ya, tetep jaga diri & jaga keluarga. Kalian seperti cahaya kecil bernama harapan yang keluar dari kotak pandora. Looove!

Entahlah kapan selesai pandemi ini. Rasanya saya udah kepengen baca-baca blog ini trus komen ‘oh ini postingan waktu lagi ada pandemi nih!’. Tapi sampai sekarang belum selesai jugaaaaa. Saya udah di tahap kesel, capek, biasa aja, capek lagi trus yaudalah… tapi mau gimana lagi? Maka hamba ingat-ingat sajalah sabda The Killers di lagu All These Things That I’ve Done:

when everyone’s lost / the battle is won / with all these things that I’ve done

if you can’t hold on / hold on

So, hang in there guys. Hold on. Nggak bisa lah ya kita nyerah. Nggak boleh. Lawan, berjuang terus. Tapi jangan lupa cuci tangan, jaga kesehatan & kebersihan, jaga jarak dan pake masker ya!

Martabak Manis

Berkat lockdown NZ yang bikin orang nggak bisa jajan dan kluyuran, bulan Ramadhan kali ini jadi rajin bikin macem-macem masakan buat buka puasa. Biasanya tiap tahun pasti bikin jadwal, tapi baru hari ke-5 udah bubar. Ujungnya banyakan jajan😏. Tahun ini (hari ini) udah hari ke-19 dan taat masak sesuai jadwal. Prestasi!

Salah satu yang masuk jadwal adalah martabak manis. Browsing resepnya di internet, kayaknya gampang. Tapi ternyata gampang-gampang susah. Ada resep yang memerlukan ragi, ada yang cuma mengandalkan baking powder. Setelah beberapa kali percobaan, lebih suka tekstur adonan ragi. Yang tanpa ragi bisa bersarang, tapi rasanya kayak cake. Nah, problem adonan ragi (yang mana adalah benda ‘setengah hidup’) adalah semua tergantung raginya. Bikin dua kali pake ragi dari kemasan yang sama, hasilnya beda-beda. Ada yang ambleg, ada yang sukses. Makanya kalo pake ragi, banyak-banyak berdoa aja.

MARTABAK MANIS

Source: cookpad, then self-modified.

Bahan-bahan:

300 gr tepung terigu

60 gr gula pasir

2 sdm gula pasir untuk taburan

300 cc susu

1/2 sdm baking soda

1 sdt vanilla paste

3/4 sdm ragi instan

5 sdm air hangat

2 btr telur ukuran sedang

Garam secukupnya

Mentega

Bahan topping:

Apa aja terserah. Nutella, meses, condensed milk, keju, kacang.. terserah ente.

Cara bikinnya:

– Campur ragi dengan air hangat di gelas. Airnya wajib anget ya, jangan dingin jangan kepanasan. Aduk rata, kemudian tutup gelas yang rapat. Biarkan 12-15 menit sampai ragi berbuih. Jangan lupa berdoa supaya raginya aktif.

– Sambil menunggu ragi, campur terigu, 40 gr gula, garam, vanilla paste dan telur. Aduk pakai whisk. Tuangin susu sedikit-sedikit sambil diaduk sampai adonan tercampur rata, nggak grindil-grindil.

– Tuang cairan ragi, aduk rata.

– Tutup adonan pakai plastic wrap atau serbet yang bersih. Diemin kira-kira 30-35 menit sampai keluar gelembung-gelembung di permukaan adonan.

– Panaskan wajan teflon diameter 20cm sampai panaaas. Olesi wajan dengan mentega, kemudian kecilkan api. Tuang setengah adonan ke wajan, taburi permukaannya dengan 1 sdm makan gula. Tutup wajan dan masak pakai api kecil aja biar nggak gosong bawahnya.

– Kalau sudah bersarang kayak gambar di atas, tandanya sudah matang. Angkat, pindahin ke talenan. Oles permukaannya dengan mentega yang generous. Kemudian kasih macem-macem topping sesukanya. Potong di tengah, kemudian lipat jadi dua. Olesi lagi permukaan atasnya dengan mentega selagi panas.

– Masak sisa adonan dengan cara yang sama.

– Selesai, selamat makan martabak!

Notes from the shufu herself:

– Ragi berbuih pertanda mau diajak kerja sama. Kalau cairan ragi sudah didiemin 15 menit nggak keluar buih, berarti raginya mati. Ganti pakai ragi baru aja.

– Untuk wajan diameter 20cm, adonannya cukup utk dua porsi martabak dengan ketebalan medium. Nggak ketebelan, nggak ketipisan.

– Martabaknya bisa dibuat variasi rasa lain. Adonannya bisa dikasih tambahan pasta pandan, pasta moka, coklat bubuk atau tepung ketan hitam.

– Kalau mau topping kacang, kacangnya dioven tapi jangan sampai gosong. Kemudian digiling pakai chopper sebentar aja, jangan terlalu halus.

– Kalau mau tambah enak, pakai mentega yang bagus. Jangan margarin ya. Kami pake NZ pure butter yang dihasilkan dari sapi-sapi montok yang hidupnya bahagia cuma makan-tidur-makan-tidur aja sehingga hasil perahan susunya enak.

Kegiatan Selama Lockdown NZ

Mulai besok tgl. 14 Mei 2020, Selandia Baru resmi turun ke alert level 2, alias situasi semakin longgar and relax. Kantor, sekolah, restoran, tempat publik secara bertahap mulai dibuka kembali. Walaupun masih harus memberlakukan pembatasan fisik dan sosial, tapi paling enggak roda ekonomi bisa kembali jalan. Sulit cyinn kalo ga punya duit.

Selama lockdown level 3 dan 4 kemarin (total 8 minggu), ngapain aja nih masarakat?

Masak, udah jelas. Nggak keitung berapa lama eke berdiri di dapur. Cuma bisa berdoa semoga kompor dan oven sehat-sehat. Ngeri banget sih kalo sampe pas lockdown, kompor rusak. Selain itu, ada beberapa kegiatan yang dijalani juga.

– Jahit Masker

Di NZ nggak diwajibkan pakai masker (nggak direkomen juga) tapi sempat terjadi kelangkaan masker. Sekalinya ada, harganya agak gila. Akhirnya bikin masker sendiri lah, dari baju batik si miss Ribut Rawit yang udah kekecilan. Iseng, sekalian ngajarin anak kecil ini menjahit. Saya nyesel kenapa pas pindah ke sini dulu koleksi benang DMC yang udah ratusan biji plus strimin malah nggak dibawa. Kan lumayan cross-stitchingan daripada blangkemen di rumah.

Untuk urusan being creative, mon maap ni, NZ masih kalah sama Indonesia. Orang sini kebanyakan taunya masker sekali pake aja. Ketika masker langka, ya udah. Pasrah aja. Ada yang pake kaos diubet-ubet di mulut. Paling banter pake scarf atau shemagh. Nggak ada yang kepikiran bikin masker lucu-lucu cantik-cantik kayak di Indonesia.

Ketika miss Ribut Rawit presentasi masker jahitannya di google classroom, guru-gurunya terkesima. Katanya sungguh out of the box. Ya ampun buk, ginian di Indonesia mah banyak banget.

– Netflix binge watching

Adanya Netflix adalah sesuatu yang sungguh sangat disyukuri. Apalagi udara Auckland udah mulai dingin. Enak banget rasanya malem-malem kruntelan di sofa depan tv, dibungkus selimut tebel, ngemil sagu keju dan minum wedang mpon-mpon. Mantulity!

Kami nonton apa saja? Antara lain ini……

The Irishman review – Scorsese's sweeping tale of crime and ...

The Irishman. Sebagai fans berat The Godfather yang hapal sampai ngelotok dialognya, serial ini kudu ditonton. Robert De Niro dan Al Pacino satu scene, kayak nonton Vito Corleone & Michael Corleone duduk bareng.

Myths & Monsters (TV Series 2017– ) - IMDb

Myths & Monsters. Kalo ini karena kesukaan saya terhadap mitologi. Dulu waktu masih jadi mahasiswa, mata kuliah favorit adalah Mitologi Yunani, yang kuliahnya kayak dengerin dongeng. Ternyata kesukaannya menular ke si Abang. This one is really worth watching.

Midnight Diner: Tokyo Stories (Netflix): New Zealand TV executive ...

Shinya Shokudō, atau kalau di Netflix judulnya Tokyo Midnight Diner. Saya penggemar berat acara tv Jepang yang banyak masak-masaknya, dan ini bisa buat ngobatin kangen walaupun belum sekoplo Ai no Apron atau Kodoku no Gurume. Abis nonton Shinya Shokudō ini malah seringnya jadi susah tidur, gara-gara kepengen masak.

Masih banyak sih yang lain, rata-rata dokumenter berbau konspirasi & perang, karena Abang K dan bapaknya doyannya nonton itu. Kebawa nonton lah aku. Tapi sampai menjelang lockdown, tetep nggak tertarik nonton drakor.

– Olahraga di rumah

Terpujilah channel-channel olahraga gampang & gak menyiksa di Youtube. Kalau mau efektif tapi bosenan, Tabata oke banget lho. Durasinya sebentar tapi kringet bisa ngocor. Tapi berhubung dua bulan lalu cedera ligamen, gak berani latihan yang ekstrim-ekstrim dulu. Mari kita yoga aja.

Channel yoga favorit saya Yoga with Kassandra. Rekomen! Mbak Kassandra kalo ngomong artikulasinya jelas jadi gampang ngikutin dan gak ada backsound suara ala-ala ASMR yang mungkin fungsinya membangun suasana tapi buat saya malah gengges.

-Saling memotong rambut

Sejak masih tinggal di Jepang, udah biasa saling potong rambut biar irit. Ongkos cukur cowok ¥2000, kalau cewek bisa sampai ¥10.000.

Sekarang lebih enak, udah banyak tutorial potong rambut di youtube. Udah beberapa kali latihan, lama-lama boleh juga.

Ini hasil potongan bapak F ngikutin tutorial youtube. Lucu kan ada layer-layernya gini. Saya motong rambut dia juga oke loh, udah mirip kayak cukur di Parnell, tapi yang bersangkutan nggak mau dipasang fotonya. Biarpun di rumah aja, tetep kudu upskill.

Kalo dipikir-pikir, sebenernya kehidupan selama lockdown enak-enak aja sih. Slower pace, lebih hangat sama keluarga sendiri dan gak perlu ketemu orang banyak. Ideal banget buat introverts like me. Tapi gak enaknya ya ada paranoid pandemi, gak bisa beli kopi dan tentu saja penghasilan berkurang. Banyak kenangan yang terjadi selama masa lockdown. Silly, but I guess somehow I’ll miss times like these.

Chicken Karage Teriyaki

Udah lama banget gak pernah posting resep, hari ini mencoba kembali lagi. Beberapa hari yang lalu, Abang si anak sulung (yang dulu waktu blog ini dimulai masih di dalem perut, sekarang udah kumisan) minta catetin resep-resep ibunya. Katanya nanti kalo dia tercapai cita-citanya kuliah di luar negeri dan harus masak sendiri, dia punya contekan. Dan dijawab dengan teriakan ibunya, “KAMU NGGAK PERNAH TAU KALO IBUKMU INI PUNYA FOODBLOG HAH??!”

Oke, kembali ke menulis resep.

Karena omongan si Abang, jadi kepikiran untuk nulisin resep yang cepet dan gampang serta irit cucian, cocok buat anak kos. Chicken Karage Teriyaki ini salah satunya. Karagenya mau bikin sendiri boleh, mau pake frozen juga bisa-bisa aja.

CHICKEN KARAGE TERIYAKI

Bahan karage:

300 gr ayam fillet (lebih gurih pakai bagian paha)

1 btr telur, kocok

100 gr Terigu, dibumbui sedikit merica dan garam, taruh di kontainer plastik agak besar yang ada tutupnya. (Kalau kurang, silakan ditambah. Pokoknya cukup untuk coating ayamnya).

Bawang putih bubuk

Garam

Merica

Bubuk paprika (bisa di-skip kalau nggak suka pedes)

Bahan saus teriyaki:

1 btr bawang bombay yang besar, diiris-iris

150 ml saus teriyaki botolan

2 sdm mentega

50 ml air

Garam

Merica

Biji wijen

Daun bawang secukupnya, potong kecil-kecil

Mayonnaise (preferably mayo Jepang seperti Kewpie).

Cara bikinnya:

– Ayamnya dipotong-potong sesuai kemauan. Bumbui ayam dengan merica, garam, bawang putih bubuk dan paprika bubuk sampai rata.

– Masukan ayam ke kocokan telur, balur sampai rata.

– Masukan ayam ke kontainer tepung, pasang tutup kontainer. Guncang-guncang kontainernya yang agak brutal supaya tepung menyebar rata ke permukaan ayam. Ini cara cepet untuk coating potongan ayam. Kalau nggak ada kontainer, bisa juga pakai plastik ziplock.

– Goreng ayam di minyak panas dengan api sedang sampai golden brown. Kalau sudah matang, angkat dan tiriskan ayam. Karage sudah jadi.

– Wajannya dibersihin pakai paper towel, kemudian dipakai lagi untuk bikin saus. Lelehkan mentega. Kemudian tumis bawang bomay sampai agak layu. Kecilkan api, kemudian tuang saus teriyaki & air, aduk cepat dan rata. Kasih garam dan merica, jangan lupa dicicip. Masukkan potongan karage, aduk rata.

– Garnish dengan biji wijen, potongan daun bawang dan coret-coret pakai mayo. Selesai!

Rest in tresna Lord Didi Kempot

Sebagai orang Jawa asal Solo-Jogja, saya besar dengan guyonan Srimulat, uyon-uyon dan belakangan genre campursari, termasuk diantaranya lagu-lagu Didi Kempot. Stasiun Balapan salah satunya. Apalagi waktu diplesetin sama Topan & alm. Leysus.

Ning stasiun Balapan, kuto Solo sing dadi kenangan

Kowe karo asuuuuuuuu…….. Howahahahaha

Jaman masih kuliah pertengahan 90-an, saya juga pernah bikin tugas kuliah video scripting dalam bahasa Inggris tapi nadanya lagu Cintaku Sekonyong-konyong Koder. Entah dulu tu kesembet apa. Tapi tugasnya dapet A!

Saat itu, pakde Didi sudah lumayan ngetop. Tapi ngetopnya terbatas di kalangan Jawa. Orang mungkin lebih kenal sama Mamiek Prakoso, pelawak Srimulat yang juga kakak pakde Didi Kempot. Makanya, ketika saya sudah pindah jauh dari Indonesia, saya nggumun mendapati fenomena comeback-nya pakde Didi Kempot. Luaaaaaaarrrrr biasaaaa….. Kali ini nggak cuma digandrungi orang Jawa, tapi sampai seluruh Indonesia, yang mana ada 34 propinsi & ratusan bahasa daerah. Konsernya dipadati penonton sepadat konser Coldplay. Padahal lagu-lagunya tetep bahasa Jawa, kok isoooo???

Lagu-lagu beliau temanya rata-rata sama, patah hati sak patah-patahe nganti koyo wes tibo ketiban ondo nggeblak kejlungup tur diewer-ewer kocheng. Pokoknya ati rasane ambyar, sehingga akhirnya muncul sebutan #SobatAmbyar. Nama beliau pun mengalami transformasi dari pakde Didi Kempot, menjadi Lord Didi Kempot dan kemudian The Godfather of Brokenheart. Mashoook pakde!

Sebagai perantau, pastinya saya FOMO. Apalagi lagu-lagu pakde Didi Kempot sangat bisa mengobati kangen sama orang tua. Sesama kempoters Auckland pun suka saut-sautan lagu pakde Didi Kempot di sosial media. Kalau ada satu yang udah mulai mancing pakai kata-kata misalnya “wong salah, ora gelem ngaku salah…” wesssss langsung yang lain nyamber. Wayahe… wayahe….! Sempet berangan-angan, seru juga kali ya kalo KBRI mau boyong pakde Didi Kempot ke New Zealand. Orang-orang Kiwi pasti bakal ikutan joget karena masyarakat keturunan Maori dan Pasifika itu tipikal yang digendangi sithik njoget.

Anak-anak saya pun keseret ikut suka. Tadinya mereka males-malesan karena nggak ngerti. Tapi setelah liat orang-orang ber-cendol dawet di konsernya Didi Kempot yang seruuu banget, mereka ketagihan. Akhirnya sedikit-sedikit malah belajar bahasa Jawa, tanah asal leluhurnya. (For this, I’m forever grateful!). Terutama anak sulung saya yang udah ABG dan kok ya pas lagi patah hati. Dia suka nggremeng-nggremeng “neng dalan anyar kowe karo sopoooo….” Sadbois banget lu tong.

Selain lagunya, hati juga hangat melihat perilaku pakde Didi Kempot di TV yang menjunjung tata krama kesopanan, suatu yang mulai langka di Indonesia. Karakter pakde Didi seperti kebalikan dari kakaknya alm. Mamiek, yang agak kemlinthi dan rambutnya dicat pirang. Pakde Didi terlihat down to earth dan sederhana. Semoga banyak anak muda yang terkena influence pakde Didi Kempot untuk kembali mengusung unggah-ungguh.

Berkat Lord Didi Kempot, semua terhibur. Semua walaupun ambyar tapi merayakan patah hati dan kegoblokan diri sendiri dengan suka ria. Berkat Lord Didi Kempot, Indonesia seolah lupa dengan pertikaian basian pemilu yang gak kelar-kelar & dipanjang-panjangin itu. Semua sama. Semua joget. Semua bahagia……

……………sampai pagi 5 Mei 2020. Tanpa ada berita sakit apapun, Lord Didi Kempot tutup usia, di puncak kejayaannya. Seperti satu komando, sobat ambyar sadbois sadgirls sedunia berduka. Ambyar iki…sak ambyare 😦 Sosok yang sempat saya rasa sebagai orang yang mampu menyatukan Indonesia, sudah ditimbali Tuhan. Mimpi ingin nonton konsernya hilang sudah. Tinggal karya-karyanya yang akan diingat, walau rasanya tidak akan lagi sama.

Lare-lare kulo tebih saking Indonesia nanging saget kawruh boso Jawi saking mirengaken tembangipun panjenengan. Matur sembah nuwun. . Mugi-mugi angsal panggonan ingkang sae lan mulyo ngajengipun Gusti Allah. Sugeng tindak, pakde. You’ve gone to soon.

Ilustrasi yang bikin mbrebes mili ini karya mas Lanang @nanglanangg. Suwun mas, sudah mengizinkan saya memakai karyanya.

Pisang Goreng Maple

Pisang goreng ini adalah cemilan sederhana yang gampang banget bikinnya. Tapi karena bikinnya di masa lockdown, jadi penuh perjuangan. Nyari tepungnya sampe mabok karena langka. Buah-buahan pun tampak menyedihkan. Di supermarket adanya pisang yang masih ijo banget. Kalau di kondisi biasa, tinggal cusss ke supermarket lain cari pisang yang udah mateng. Tapi karena di kondisi nggak biasa (silakan baca ceritanya di sini), ogah banget ke tempat lain. Terpaksa pisang ijo ini dibeli, dan ditunggu berhari-hari & dibungkus kertas, trus dimasukin oven biar buruan mateng.

Ketika akhirnya pisang goreng ini JADI JUGAK, aku terharu! Pengen makan pisang goreng doang kok perjuangannya gini amat.

Biasanya orang-orang pakai madu untuk campuran adonannya. Tapi yang ini pakai maple syrup. Dimakan hangat-hangat sambil meratapi nasib, enak banget.

PISANG GORENG MAPLE

Bahan-bahannya:

1 sisir pisang yang udah matang (pisangnya apa aja), dirajang-rajang

250 gr tepung terigu

2 butir telur ukuran sedang

2 sdm maple syrup (ganti madu juga bisa)

Garam sikit

Minyak untuk menggoreng (pakai minyak baru ya)

Bahan celupan:

2 sdm maple syrup dicairkan dengan 3-4 sdm air

Cara bikinnya:

– Campur telur, terigu, garam dan air. Aduk dengan whisk sampai rata.

– Masukan maple syrup, aduk rata.

– Celupin potongan pisang sampai kerendam semua. Kalo mau ada efek soft, pisangnya agak dibenyekin sedikit pakai garpu.

– Panaskan minyak, goreng pisang sampai agak kecoklatan. Angkat potongan pisang, celupin ke bahan celupan, trus goreng lagi sebentar. Angkat, tiriskan. Selesai.

Living in the time of corona

Saat ini, di berbagai belahan dunia, warga semesta kebanyakan sedang hidup dalam keparnoan karena wabah covid 19. Semua negara di dunia sedang perang melawan musuh yang sama. Selandia Baru sendiri sekarang sudah di minggu ke-3 masa lockdown total, dari rencana 4 minggu. Perbatasan ditutup, seperti Thranduil menutup Woodland Realm: no one enters and no one leaves. Sekolah ditutup. Semua kantor dan usaha ditutup kecuali rumah sakit dan supermarket. Semua orang diminta duduk manis di rumah aja, dan malah penduduk lanjut usia nggak diperbolehkan keluar rumah.

Dari prediksi jumlah kasus mencapai 4000-an (plausible worst case bisa mencapai 146 ribu kasus), tercatat total kasus per hari ini 1422. Jauh lebih kecil dari perkiraan. Kurvanya sudah flat dan sejak 5 April jumlah kasus baru terus menurun. Bisa jadi kebijakan lockdown NZ ini berhasil menghentikan laju penyebaran virus. Keberhasilan ini sedikit banyak selain karena penduduknya relatif nurut kalau dikasih arahan sama pemerintah (penting!), juga karena jumlah penduduknya nggak banyak. Populasi Selandia Baru sekitar 4,7 juta jiwa saja, sama Tangsel masih ramean Tangsel. So, less people less problems.

Gimana kabar kehidupan selama lockdown?

Sebagaimana aturan pemerintah, kerja dan sekolah dari rumah. Nggak pergi kecuali ke supermarket. Jalan-jalan cari udara cuma di sekitar rumah aja, nggak sampe 20 kilometer ngider kemana-mana. Kebetulan sekeluarga dari dulu betah di rumah, jadi kalau nggak boleh kemana-mana ya nggak merasa tersiksa. Anak-anak selalu bisa nemu kegiatan untuk bikin mereka asik sendiri. For this I consider myself lucky, karena di luar sana, bunda-bunda pada jambak-jambak rambut karena anaknya rungsing nggak boleh main di luar. Nggak ada satupun restoran yang boleh buka yo rapopo wong kami jarang jajan (kalo di Indonesia pasti aku setres, jajan is lyfe!!). Paling banter cuma kangen kopi dari warung-warung kopi langganan. Tapi kenapa anak-suami dikit-dikit teriak laper sih?! Angan-angan bisa produktif blogging di masa lockdown ini pupus akibat tiap hari kelamaan di dapur. (pret)

Yang lumayan menyusahkan adalah belanja. Ini nih salah satu hal yang kini berubah 180 derajat. Kesenanganku berlama-lama grocery shopping terenggut. Ada peraturan baru yang super strict: belanja harus sendiri, gak boleh lama-lama, jumlah orang yang masuk dibatasi & bayar tidak boleh pakai cash. Biasanya sampai supermarket bisa bludas bludus masuk, sekarang harus antre lama & panjang di luar, dengan physical distance 2 meter. Sengaja dateng 30 menit sebelum supermarket buka supaya nggak antre, ternyata kehadiran masyarakat udah mengular panjaaaaang sampe belakang gedung -_____-

Belanjanya sungguh nggak santai dan waswas karena harus jaga jarak. Selesai belanja, semua barang harus di-wipe atau dicuci saking parnonya . Astaga Gustiii… sekarang mau pergi belanja rasanya kayak disuruh Gandalf balikin cincin ke Mordor.

Kenaikan harga jelas nggak bisa dihindari, dan banyak jenis barang yang menghilang dari pasaran. Salah satunya tepung. Alamak ini barang mewah banget. Karena kesel cari di mana2 nggak dapet & capek antre, terpaksa beli tepung premium untuk industri dalam satu-satunya ukuran yang tersedia: 25 kilo. Sekarang berasa kayak anak sultan karena punya tepung banyak.

On more serious note, imbasnya ke perekonomian sungguh bikin sutrisno. Sedih karena banyak teman kena PHK dan usahanya tutup, padahal biaya hidup jalan terus. Kami juga kena dampaknya akibat penyesuaian pendapatan. Harus akrobat sana-sini supaya hidup bisa terus jalan. Ngos-ngosan say! Sempet ngobrol sama teman-teman yang ada di Amerika, UK, Australia dan Singapura, semuanya senasib.

Situasi masa pandemi ini sulit untuk semua orang, tapi kesulitannya terasa berlipat ketika hidup di rantau. Apapun yang terjadi, kami harus bisa menopang kaki sendiri, nggak ada keluarga tempat kita bisa ngutang beras sama gula. Dan, bila (amit-amit) terjadi sesuatu, kami kaum migran kemungkinan besar nggak akan jadi prioritas. Hal lain yang menyesakkan ya apalagi kalau bukan mikirin orang tua di tanah air. Nggak bisa berbuat apa-apa dan nggak bisa kemana-mana juga. Cuma bisa berdoa keras mereka sehat & terlindungi.

Sejak masuk tahun 2020, dunia dibolak-balik sama virus kecil tapi mematikan ini. Hidup jadi sangat absurd. Saking absurdnya, lama-lama manusia terpaksa harus bisa menerima bahwa dunia sudah tidak lagi sama. Kapan dan bagaimana pandemi ini berakhir, nggak ada yang tau. Semoga dunia baik-baik saja dan semua manusia di manapun sehat selamat.

This too shall pass.

Cerita Jadi Penganten

Masih dalam rangka wedding anniversary, lanjutin dikit cerita tentang kawinan ya.

Sekian tahun lalu booming banget bikin blog yang nulis tentang wedding preparation. Untunglah trend itu belom ada pas saya kawin. Saya jadi gak ikutan nulis, karena  pastilah ceritanya krik krik krik. Persiapan perkawinanku sungguh tak menarique gaes.

Dibanding calon penganten lain yang persiapannya sampai berbulan-bulan bahkan setahun, saya cuma punya waktu 2 bulan. Itupun kondisinya aku di sini-si dia di sana alias LDR. Kan ujungnya saya sendiri juga yang ngerjain. Ditambah lagi masih harus kerja. Bisa pecah ndasku kalo harus mikir semua sedetail-detailnya.

Yang sempet bikin deg-degan cuma gedung. Karena status si masboi yang waktu itu masih mahasiswa, dia cuma bisa pulang ngawinin saya (duh bahasanya) bulan September pas lagi term break. Dan saya syokkk waktu tau rata2 gedung sudah dipesan jauh-jauh hari. Malah ada yang 2 tahun sebelumnya. Udah sempet pasrah kawinnya gak pake gedung, tapi ternyata mengakomodir keinginan keluarga besar itu sulit ya. Sampai pada satu hari, ngelewatin sebuah gedung perkantoran yang arsitektural tapi (saat itu) belum lazim untuk resepsi. Nekat aja deh masuk, nanya-nanya sapa tau ada ruangan yang bisa disewa. Ternyata ada, dan malah auditoriumnya cantik banget. Gabungan indoor-outdoor. Harganya juga sangat masuk budget, dan yang paling bikin pengen loncat-loncat: ada tanggal kosong di bulan September! Langsung bungkus!

Persiapan sisanya berjalan sambil lalu aja. Konon katanya zodiac Virgo itu perfeksionis. Tapi kayaknya saya Virgo palsu, karena entah kenapa saya jadi males mikir, bahkan untuk moment yang once in a lifetime ini. Segalanya ambil yang seadanya dan segampangnya aja.

– Bahan kebaya beli di toko langganan di Mayestik. Saya cuman bilang mau warna merah. Yang punya toko lantas gelar aneka pilihan warna merah, lantas saya pilih satu. Selesai.

– Kebaya akad dan resepsi dapet saran dari teman-teman disuruh ke desainer A atau desainer B, tapi ogah banget yaa harus nyetir bolak-balik ke sana, belum fitting-nya. Mending minta jahitin di tante tetangga rumah yang udah langganan dari kecil dan udah paham banget ukuran saya. Tinggal bilang maunya gimana, seminggu menjelang hari H fitting-nya tinggal lari ke rumah si tante. Selesai.

– Perias penganten ada dua. Yang adat Minang, dirias sama temennya mertua. Yang adat Jawa, dirias sama tante saya sendiri. Gak merasa perlu test make up. Pasrah aja. #kalocakepmahcakepaje.

– Catering di rumah kebetulan ditawari sama kenalan baik yang punya usaha katering. Pas test food, rasanya oke dan harganya juga bersahabat. Selesai.

– Catering di gedung udah sepaket sama gedungnya. Hore gak usah cari-cari!

– Cincin kawin beli di toko emas pasar cikini. Berhubung maunya cincin polos belah rotan bahan emas putih tanpa berlian, jadinya murah dan cepat selesai.

– Mas kawin, saya gak ikut campur. Serahin aja sama masboi (yang ternyata dia juga gak tau apa-apa, yang ngurusin ibu mertua.)

– Seserahan beli bareng-bareng sama masboi di Sogo Plaza Senayan. Tau sendiri dong daya tahan berbelanja saya itu minim. Cuma sanggup bertahan 30 menit, abis itu puyeng. Jadi langsung pilih cap-cip-cup, selesai. Masboi silakan bayar.

– Vendor foto pake jasa tetangga yang kebetulan wedding photographer. Asik ya tetangga-tetanggaku di Tebet, pada jago-jago! Tadinya ditawarin mau bikin pre-wedding. Tapi gimana caranya foto dengan posisi aku disini-doi sana? (LDR memang menyusahkan!). Akhirnya si mas fotografer minta foto dari stok yang ada aja, trus di-edit jadi satu seolah-olah lagi pre-wedding. Pintar!

– Dekorasi harus pakai rekanan gedung, jadi saya nggak perlu dipusingin sama opsi. Tapi saya sangat happy karena vendornya worked within budget. Pakai bunga lokal biar gak usah rempes import-import, lebih murah pula.

– Musik hukumnya wajib! Mengerahkan koneksi sebagai hotelier, saya minta tolong temen-temen musicians piano-sax-cello yang biasa main di lounge hotel-hotel. Playlist-nya saya serahin ke mereka, cuman pesen “kalo ada yang mau sumbang suara, jangan boleh ya”.

– Kartu undangan bikin di vendor deket rumah. (Tebet memang asik, segala ada!).  Desainnya pake template yang ada aja. Ukurannya gak besar dan hanya selembar, supaya nggak boros kertas. Yang penting hurufnya huruf cetak dan nggak berwarna emas, supaya tulisan terbaca jelas. Udah berulang kali kejadian bapak-ibu saya udah dandan cakep2 mau pergi kondangan trus pulang lagi gara-gara salah baca tanggal. Setiap kali kejadian gitu, pasti tulisan di undangannya pake huruf sambung dan warna emas.

– Vendor souvenir nemu pas lagi liat Inacraft. Dari dulu kala saya memang maunya suvenir pembatas buku karena kecil, bisa langsung masuk tas/saku, gak riweh dipegang tapi berguna. Alasan lainnya adalah saya hobi baca buku, sekalian kampanye gerakan gemar membaca. Kan perintah pertama dalam Quran itu Iqra.

Sudah, gitu aja. Gak menarik kan.. satu postingan juga kelar. Alhamdulillah dikasih lancar. Yang bikin riweh malah urusan kacamata masboi. Waktu itu dia lagi pake frame yang sebenernya sunglass buat surfing yang dijadiin kacamata baca (harap maklum, setengah seniman). Jadinya kalo blangkonan pake frame itu mukanya keliatan ajaib banget. Dia ubek2 laci dan nemu kacamata lama yang frame-nya cukup ‘sopan’, tapi ukuran lensanya udah nggak update. Mau bikin baru udah nggak sempet. Akhirnya selama acara the royal wedding, dia pake kacamata yang burem dan muka tamu-tamunya nggak keliatan jelas.

Kenapa saya kayaknya bodo amat sama persiapan kawinan? Mungkin karena sebelum acara berlangsung, ada beberapa kejadian tragis yang bikin saya sedih banget. Mungkin juga karena terpengaruh si masboi yang nggak rewes sama segala detail persiapan. Katanya, party cuma sehari. Yang harusnya diseriusin itu hidup sesudahnya, sampe mati lho. Woiya, nel ugha. Jadilah saya ikutan selow, pokoknya asal keinginan semua pihak bisa terlaksana, evribodi hepi, beres.

Yang jelas saya bersyukur waktu itu selownya nggak kebablasan dan masih nurut bapak-ibu saya untuk menjalani prosesi adat. Karena orang tua saya dari Jawa, jadi saya jalani semuanya lumayan komplit. Mulai dari taruban, siraman, midodareni, panggih, balangan dan seterusnya. Karena mertua saya orang Minang, acara akad nikah dalam adat Minang. Saya yang selalu pusing tiap pakai aksesori di kepala, saat akad ikhlas disulap jadi anak daro dengan suntiang 7 tingkat. Waktu itu tujuannya sih cuma untuk menyenangkan dan menghormati orang tua. Tapi sekarang saya bersyukur pernah menjalani adat tradisi yang makin lama makin ditinggalkan dan malah disebut gak sesuai agama. (Gak mau bahas, ntar taring saya keluar). Saya bersyukur tidak melupakan tradisi dan sebagai orang Indonesia, selayaknya harus nguri-nguri kabudayan.

Banggalah dengan budaya Indonesia. Jangan hilang. Jangan dihilangkan.